Senin, 23 Maret 2015

Cangkuang Moksa

Oleh: Ridwan Munawwar Galuhwiraksa

 

Waktu beranjak ke sareupna. Sandikala serupa hantu. Lembayung telah pergi. Langit makin gelap, hutan makin gelap. Gerimis gemericik membasahi tanah perbukitan Kawali yang merah.

Pasukan Puragabaya berteduh di saung darurat, sebagian lainnya berteduh di bawah pepohonan yang rimbun-rindang. Walau gerimis membasahi badan, walau wadya balad memanggil-manggilnya untuk berteduh, Ki Galuh Ridwan tetap tak beranjak, ia berdiri di bibir bukit, asik dengan pikirannya sendiri. Pemandangan alam luas sejauh mata memandang.

Pandangan Ki Galuh Ridwan nampak kosong dan nanar, nun jauh di lebak, terlihat kampung halamannya; Kawalimukti. Lampu-obor terang benderang memenuhi kuta, terlihat dari jauh seperti kunang-kunang di tengah jelaga. Ingatannya bertumbuk pada ucapan saudara kembarnya, Ki Galuh Purwajati;

“Selam?! beraninya kau. Mana kesetiaanmu pada karuhun, pada arwah indung-bapa? pada pusaka Jatisunda?!!” matanya menyala tajam, bagai sisi hitam dari api.

Ia hanya terdiam, bibirnya terkatup rapat. Hatinya sesak, penuh oleh rasa yang susah terucap.

Itulah awalnya, ia berpisah rumah pisah mandala dengan saudara sedarahnya sendiri. Ia menjadi kapten laskar infanteri Puragabaya, sedangkan kakaknya menjadi panglima pasukan Jatisunda.

Kini perang geusan prung, kurusetra telah terhampar. Perang sabung nyawa antar sesama urang Sunda, antara mereka yang memeluk agama yang dibawa orang Arab, Selam dengan mereka yang teguh pada ajaran pusaka Jatisunda.

Galuh Ridwan menghela nafas, berat dan dalam. Dadanya terasa semakin sesak dan sempit. Hujan telah deras, seluruh badannya basah kuyup, namun ia tetap pengkuh tak beranjak dari tempatnya berdiri.

Dari arah belakang, tergopoh datang menghampiri Ki Rantepao Larasmaya, sang juru pakarang yang asli kelahiran pulau Celebes, tana Toraja.

“Punten, Nun...mari kita bersantap dulu, hidangan telah tersedia. Mangga dihaturanan”, ujarnya sambil memayungi Ki Galuh Ridwan dengan sebatang daun pisang yang lebar.

Di saung, wadya balad Puragabaya sedang ramai bersantap ria; ada nasi beras merah yang pulen dan wangi, petai hutan yang montok, panggang uncal yang hangat, tak tertinggal sambal terasi yang mengundang selera. Dasar lantaran pikiran sedang kusut, Galuh Ridwan hilang nafsu makan, hanya sesuap dua-suap yang didapat.

Kira-kira waktu menginjak sareureuh budak, hujan parat. Pasukan Puragabaya yang berjumlah lebih dari 300 orang, beranjak bangkit berbaris. Lapangan tengah bukit yang lumayan luas kini bagaikan lautan manusia berbaju dan berikat kepala putih. Sebelum pasukan berangkat, Ki Galuh Ridwan memberi pidato singkat agar semangat pasukan makin berkobar. Wanci tumorek, pasukan berangkat menuju Tegal Cangkuang, yang tiada lain di sanalah markas utama pasukan Jatisunda yang dipimpin Raden Cakra Adiwisesa berada.

Dalam fikirnya, kalau pasukan dibawa melintas bukit, tentu akan lebih cepat sampai ke medan sasaran, selain itu, tidak akan tercium oleh pihak musuh. Bila nanti telah sampai ke tapal batas, ke daratan di ujung perbukitan, sudah menunggu pasukan kavaleri Puragabaya yang dipimpin oleh Ki Sumar Yusmarpati dari Majalengka.

Ki Galuh Ridwan berjalan paling depan. Di pinggang terselempang pedang panjang dari besi-baja Cilegon tempaan empu panday dari Soreang. Pada ikatan sabuk, terselip kujang baja pusaka.

Sepanjang jalan menyusuri gawir bukit, hatinya ramai berdzikir, namun ingatannya kumalayang, terbang tak tentu arah. Ingatannya tertumbuk pada dia yang cantik, nu geulis, kembang desa Singandaru, inten bebende hate, sang permata hati, Dyang Wulan Ratnaningsih.

“Yeuh, hati Nyai cuman untuk Aka. Nyai lebih memilih Aka ketimbang Kang Galuh Purwajati. Tapi Selam?! Selam, Aka? hantu apa yang telah merasuk ke dalam dirimu?!” matanya yang indah bagaikan embun setetes ngadilak, wajahnya yang manis cantik-menik merona merah oleh amarah, rambutnya yang hitam lebat disanggul kenes, dalam marahnya ia tetap cantik, lebih cantik malah. Banyak sudah jejaka yang terpaut-terpagut hati oleh dirinya, yang melamar ingin menikahi ramai berdatangan dari setiap juru kampung, estu semuanya ditolak-ditampik, karena  sang gadis permata lebih memilih dirinya. Tapi, jika benar ia yang terpilih oleh Dewa Asmarandana, kenapa lantas sang raka, kakaknya tetap membayangi, bagai hantu masa lalu yang selalu mengintai hati....

Untuk kesekian kalinya ia menghela nafas dalam, ingat bahwa sang gadis permata kini hilang tanpa kabar. Duh, nu geulis Ratnaningsih, dimanakah engkau kini...

Nafasnya bertambah berat dan dalam.

***

Tidak ada kesulitan bagi pasukan Puragabaya merebut markas musuh, hanya memakan waktu setengah jam kurang lebih. Tapi, justru itu yang menimbulkan kecurigaan Galuh Ridwan dan rekan-rekannya;

 “Cuma 40 orang prajurit bebenjit! di mana cecunguk-cecunguk itu bersembunyi!” ujar Ki Rantepao Larasmaya dengan suara menggelegar.

Ki Galuh Ridwan waspada permana tiga, namun ia tetap tenang dan mempersiapkan pasukan untuk melaksanakan kewajiban shalat Subuh.  Belum tuntas rakaat shalat, dari arah belakang terdengar seorang prajurit berteriak nyaring,

 “Musuh datang! Musuh datang!”

Pasukan Puragabaya yang kaget, serentak berseliweran bangkit berbalik, menghunus senjata masing-masing. Namun Ki Galuh Ridwan beserta sebagian jama’ah pasukan, tetap tenang dan menuntaskan shalat. 

Di lapang tegal Cangkuang, pasukan Raden Adiwisesa telah pepeg berjajar. Walau terhalang halimun pagi, samar terlihat panji-panji pasukan itu; bendera hijau dengan gambar kujang emas menyilang.

Pasukan Puragabaya kembali menyusun barisan. Siap siaga meghadapi pasukan musuh yang menantang di depan. Ki Galuh Ridwan memperkirakan dalam hitungan kasar, pasukan musuh kisaran 400 orang lebih. Jumlah yang seimbang. 300 lawan 400 mah tidak akan jirih sedikit jua, pendekar-pendekar Puragabaya tidaka akan kalah tinggi dalam ilmu silat. Cuma yang ia heran adalah kenapa kakaknya tidak terlihat.

Dua pasukan saling berhadapan, cuma terpisah jarak seratus tombak. Seakan sudah saling mengerti, tidak akan bermain panah atau bermain lempar tombak, perang ini bakal diselesaikan sebagaimana pantasnya jajaten laki-laki; saling berhadapan silih ala pati, mengadu tinju mengadu pedang. 

Dua pasukan telah bentrok beradu. Lir ibarat dua baris ombak yang saling memecahkan. Laskar Puragabaya dengan tegap memainkan pedang panjang, sebaliknya pasukan Raden Adiwisesa tegap memainkan bedog panjang dan kujang pedang. Darah manusia cur-cor, tertumpah banjir darah membasahi tanah Pasundan. Sebit kulit poncrot getih, dari dua belah pihak korban-korban berjatuhan laiknya pohon pisang yang tumbang. Prajurit lawan prajurit, jajadug lawan jajadug. 

Semakin lama makin terlihat pasukan mana yang unggul; sudah empat orang jajadug pasukan Adiwisesa yang perlaya, sementara pasukan Puragabaya cuma kehilangan seorang jajadug: Ki Ahung Rajadesa. Pasukan Adiwisesa makin terdesak, namun ternyata untuk memetik leher pimpinannya tidak mudah sama sekali, Raden Adiwisesa lincah-licin bagaikan belut. Pasukan Adiwisesa terdesak hingga ke tepi hutan, tinggal menunggu habis terbabat pedang Puragabaya.

Tak disangka tak dinyana, dari balik hutan, tiba-tiba terdengar suara teriakan bergemuruh, handaruan maratan langit. Bumi bergetar bagaikan gempa. Dari balik deretan pepohonan hutan yang masih berselimut kabut, jlung jleng pasukan Sunda Buhun  yang berikat kepala biru, jumlahnya banyak tidak terhitung. Pasukan Puragabaya bagaikan tersambar petir, para jajadug ngorejat kaget, cuma Galuh Ridwan yang tetap tenang pengkuh; hal ini sudah ia perkirakan sebelumnya.

Dengan cepat Ki Galuh Ridwan ngawatek aji, merambat angin, merelung halimun, memanggil pasukan kavaleri yang bersembunyi di tonggoh bukit sebelah kiri.

Pasukan Puragabaya mulai berjatuhan tertabrak gulungan barisan pasukan Buhun yang melaju cepat, bagai ombak besar memakan ombak kecil. Ki Galuh Ridwan khusyuk mengadu pedang dengan jawara-jawara Buhun yang berpostur pendek kekar, hatinya tidak sabar akan datangnya pasukan bantuan

Tidak lama kemudian, pasukan kavaleri pimpinan Ki Sumar datang, balas menampar menghantam pasukan Buhun dari arah samping. Beberapa antara, keadaan nampak seimbang, tapi pasukan Buhun bukan pasukan anak kemarin sore, pasukan kavaleri mulai terbabat satu-persatu. Selain itu, Puragabaya tetap kalah jumlah.

Melihat sepak terjang jawara-jawara Buhun, estuning membuat ngeri merinding. Ilmu-ilmu silat langka yang selama ini cuman mitos, kini terlihat jelas nyata; silat cabut tulang, dan semacamnya.

Pandangan Galuh Ridwan tertumbuk pada sesosok manusia yang tengah mengamuk membabati pasukan kavaleri. Tidak lain lagi itu adalah saudara kembarnya. Sontak hatinya panas membara, dengan langkah tandas ia memburu menghampiri, namun saudaranya malah meloncat menjauhi seraya berkata;

“Kita selesaikan di atas, Yi” katanya sambil meloncat lagi menuju hutan rimbun.

Ki Galuh Ridwan baluweng fikiran, rasa khawatir menjalari hati. Terlihat jelas pasukannya telah terdesak. Pasukan kavaleri dan infanteri terdesak oleh deretan tombak kujang Buhun sampai berjatuhan ke danau. Situ Cangkuang merah oleh darah manusia-manusia satria yang perlaya-palastra.

Ki Galuh Ridwan melirik ke Ki Sumar yang masih duduk tegap di atas kuda. Yang ditatap balas menatap. Dua-duanya sudah saling tau kalau sudah nasib bakal ngababatang di hamparan medan perang.

 “Yang penting nyawa Adiwisesa...” suaranya pelan hampir tak terdengar

Ki Sumar menatap lama, terus mengerti,

“Serahkan padaku. Susul”

Ki Galuh Ridwan melempar tatap bergantian para jajadug dan sisa pasukannya yang masih bernyawa, lalu mengangguk penuh. Ia menarik nafas panjang, meloncat bagai terbang menuju bukit, memburu saudaranya.

Jleg kakinya menapak di tanah bukit. Dari balik rimbun dedaunan, terlihat olehnya saudara kembarnya diikuti oleh beberapa orang tengah berlari di jalan setapak menuju Candi Cangkuang yang berada di puncak bukit. Matanya tertumbuk pada sosok perempuan yang tengah berlari di samping kakaknya, ia hafal betul; Dyah Ratnaningsih.

Hatinya makin terbakar, tubuhnya bergetar oleh amarah, pikirannya semakin sesak oleh rasa penasaran, dengan berlari ia memburu.

Di depan Candi Cangkuang yang sunyi dan agung, kini mereka saling berhadapan. Ki Galuh Ridwan menatap tajam pada saudaranya, lalu pada Dyah Ratnaningsih yang balas menatapnya sambil tersenyum, manis dan penuh misteri. Galuh Ridwan ingin berteriak, ingin memaki memuntahkan amarah, tapi lidahnya liat bak terkunci di rongga mulut, yang lain pun nampaknya tak jauh beda. Tak ada sapa, tak ada suara, tak satu patah kata jua. Di bawah, suara jerit peperangan masih samar terdengar.

Tiba-tiba Dyah Ratnaningsih membuka ucap, suaranya tajam menghunjam. Rentetan kalimah yang tidak ia mengerti; mantra petuah karuhun yang sudah ia lupakan. Selepas tuntas mantra terucap, tiba-tiba Candi Cangkuang yang agreng beserta Galuh Purwajati, Dyah Ratnaningsih dan yang lainnya menghilang. Hilang ngiles bagai tertelan bumi!

Galuh Ridwan gemetar, air matanya meleleh entah kenapa, pikiraannya serasa dicabut dari jisim, sukma-jiwa serasa melayang entah ke mana. Sebelum raga tumbang ke pangkuan bumi, terasa olehnya, kujang pusaka yang terselip di pinggang, panas, menyala.





Jogja, 17 Desember 2013, wanci lingsir wengi, 00:00 WIB.



Glosarium/Kosa Kata:

Sareupna = titi mangsa Sunda, yakni waktu maghrib/matahari terbenam.

Sandikala = sareupna

Saung = dangau

Lebak = dataran rendah di bawah bukit

karuhun = leluhur

indung-bapa = ibu-bapak

mandala = tempat

geusan prung = sudah dimulai/terjadi

pengkuh = tegar, teguh

juru pakarang = petugas yang menangani senjata

Punten, Nun = Permisi, Nun (sebutan untuk petinggi)

Mangga, dihaturanan = dipersilahkan (dengan hormat)

uncal = kancil, kijang

sareureuh budak = jam 7 malam

wanci tumorek = jam 9 malam

gawir = pematang

kumalayang = terbang, melayang

nu geulis = yang cantik

inten bebende hate = kekasih hati

yeuh = nih, ini

Aka = panggilan untuk laki-laki yang lebih tua

Ayi, Yi = panggilan untuk orang yang lebih muda

ngadilak = melirik dengan mata sedikit melotot

estu/estuning = jelas, pasti, otomatis

bebenjit = anak kecil

waspada permana tiga = siap siaga, waspada

halimun = kabut

pepeg =  berdiri tegap, berderet

jajaten = harga diri, kejantanan

bedog =  golok

silih ala pati = saling mengambil nyawa

cur-cor = istilah untuk sesuatu yang mengalir

sebit kulit poncrot getih = kulit terkelupas, darah tersembur

jajadug = gembong, pendekar terbaik dari pasukan

handaruan maratan langit = menggelegar sampai ke langit

ngorejat = bergerak tiba-tiba karena kaget

ngawatek aji = merapal ajian

tonggoh = bagian atas/lebih tinggi dari sebuah daratan

jawara = pendekar

baluweng = kusut fikiran

ngababatang = menjadi mayat, mati

ngiles = menghilang

perlaya, palastra = gugur

agreng = megah



*) Ridwan Munawwar Galuhwiraksa, lahir di Kuningan. Bergiat di Komunitas Budaya Sakra.
(tayang di Pikiran Rakyat, 12 Januari 2014)

Gamelan Wekasan

oleh: Ridwan Munawwar Galuhwiraksa

Kandaga Padalangan Galuh, 1897 M

KINI tinggal dirinya yang berada di ruang penyimpanan gamelan yang teduh dan lembab itu. Rekan-rekan panayagan telah pulang ke rumahnya masing-masing. Ki Dalang Sepuh, ayahnya, telah lebih dulu beradu nyenyak di peraduannya.

Batinnya tak henti berbicara sendiri. Ia ingat betul peristiwa dua tahun silam, waktu ia masih menjalani masamasa pendidikan keagamaan di Madinah. Saat itu, dari Tanah Air datanglah sepucuk surat padanya. Surat yang ditulis sendiri oleh kakeknya, isinya adalah penjelasan kakeknya tentang kondisi hubungan pribumi dengan bangsa Walanda yang semakin meruncing. Dengan sangat lugas kakeknya berkata dalam surat itu, bagaimana bangsa asing itu kini telah berani melunjak; berani melarang dan mencekal pagelaran wayang.

Rasa kaget bercampur marah memenuhi dadanya. Bagaimana tidak, semua rakyat Tatar Sunda tentu akan merasa tertekan, dan marah oleh perlakuan ini; apalagi bagi dirinya yang adalah pewaris, trah langsung Kasepuhan Kandaga Padalangan Galuh.

Lama ia berpikir keras, apa yang hendak diperbuatnya jika ia pulang kampung. Melawan pada pemerintah kolonial? Tentu sulit. Sebab meskipun rakyat memang berdiri mendukung di belakangnya, namun kemarahan mereka tersumbat oleh rasa takut pada moncong laras bedil kompeni. Kebanyakan.

Akhirnya ia putuskan juga untuk  segera pulang kampung, tepat dua minggu setelah ujian kelulusannya di Madinah. Tentu ia lulus dengan predikat yang sangat bagus. Oleh guru-guru dan kawannya, ia dijuluki sebagai ‘’Al-Marjan minaNuswantara’’, ‘’Ad-d’iatun minaNuswantara’’ (yang cemerlang dari jazirah Nusantara). Kata gurunya, kecerdasan dan sosoknya mengingatkannya pada para pelajar-pelajar dari jazirah Nusantara yang datang dua abad sebelumnya. Dan ia pun menghabiskan masa belajarnya di Madinah dengan banyak sekali aktivitas. Selain  mengaji, dia juga melakukan kegiatan budaya; ia mengajarkan musik Sunda pada orang-orang Arab, sementara mereka yang diajarkan berbalik mengajarinya musik Arab, dan di antara semuanya, qonun adalah waditra Arab yang paling disukainya.

Sebuah kegiatan ekstra yang tentunya tidak mudah; sebab selalu diiringi picingan mata sebagian kecil gurunya yang memiliki pendirian bahwa kesenian itu haram.

***
SETELAH hampir delapan bulan mengarungi keluasan samudera, melintasi selat-selat, dan melewati belasan pelabuhan, kini kakinya telah menjejak menapak di Pelabuhan Cirebon. Dia telah sampai ke Tanah Air. Ia menghela napas dalam seraya menatap tanah yang dia pijak. Cukup lama dia melakukan itu, sampai kemudian tibalah sebuah rombongan panyawah yang diutus ayahnya untuk menjemputnya.

Perjalanan dari Cirebon ke Tatar Galuh memakan waktu dua hari satu malam dengan berkendaraan kuda tunggangan. Sepanjang perjalanan, ia menemukan betapa banyaknya hal yang berubah di tanah Nusantara ini; di sana-sini berdiri pabrik, baik itu pabrik gula, pabrik batu bara, pabrik pengolahan bahan rempah, dan sebagainya. Dia juga melihat banyak sekali jalan baru dibangun, sebuah kegiatan yang memakan tumbal ratusan bahkan konon ribuan nyawa para pekerjanya, demikian seorang panyawah menjelaskan. Di kaki Gunung Ciremai, kini dia melihat bangunan dan benteng milik pemerintah kolonial semakin banyak berdiri. Hanya selama tujuh tahun kutinggalkan, betapa banyaknya perubahan yang terjadi, batinnya. Tiba di Tatar Galuh, ia tidak hanya menghirup udara segar dan hawa pilemburan yang dia rindukan, tetapi juga aroma kesedihan; kakeknya meninggal dunia tiga bulan sebelumnya, saat ia masih dalam perjalanan pulang, tepat saat dia melintasi Selat India.

Hari-hari berikutnya dia isi dengan menikmati kenangan indah masa lalunya di kampung halaman. Panineunangan di lembur pangancikan diri. Di sela-sela itu tentu ia langsung disibukkan oleh berbagai riungan sawala dengan kalangan pinisepuh. Sebagai pewaris, teureuh utama Kadatuan dan Kandaga Padalangan Galuh, dialah yang kini disodorkan tanggung jawab untuk menghadapi permasalahan yang kini bercokol. Rama Purwadjati, ayahandanya yang sudah sepuh, meskipun tersembunyi, telah menganggap anak lelaki sematawayangnya itu pantas untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi; pertama, perampasan senjata/pakarang milik rakyat oleh pemerintah militer kolonial, dan kedua adalah pencekalan/pelarangan pagelaran pewayangan.

Menurut keterangan Sang Rama, yang mengeluarkan kebijakan semacam itu adalah Tuan Gopernemen baru yang sudah menjabat di sini selama tiga tahun terakhir. Tuan Gopernemen sebelumnya, justru memiliki watak yang berkebalikan; dia adalah orangasing yang mencintai tradisi dan kebudayaan pribumi. Sebagai seorang terpelajar, dia segera melihat kebijakan pemerintah kolonial itu berhubungan dengan adanya ketidaksetujuan dan perlawanan masyarakat pribumi atas pencaplokan lahan-lahan pertanian serta korupsi para pejabat terkait pembagian hasil dari penggarapan lahan pertanian milik rakyat.

Pernah suatu ketika pamannya yang juga seorang dalang, tetap bersikukuh mengadakan pagelaran wayang golek, sebagai jamuan dan penghormatan atas kedatangan tamu priyayi Mataram. Tetapi di tengah pagelaran, sepasukan kompeni datang dan langsung membubarkan pagelaran begitu saja. Seperti lakon yang tidak sempat tersampaikan, seperti itu pulalah kemarahan yang kini menyumbat para anggahota kandaga padalangan.

Dengan dikawal beberapa pendekar dan panyawah, akhirnya dia berangkat ke kantor Gopernemen kolonial, dengan maksud berdiplomasi, membicarakan perkara ini secara baik-baik. Namun apa yang dia dapat adalah semburan amarah dari suara berat Tuan Gopernemen.

‘’Wayang mah miara mitos, ngajauhkeun inlander tina cara mikir nu logis, nu rasional! Kamu semua harusnya tahu diri!’’ katanya dalam bahasa Belanda bercampur bahasa Sunda kasar garihal.

Semua kaget dan tersinggung mendengar jawaban itu. Ki Branjangpati, pendekar kepercayaan kadatuan tampak sekali sudah tidak tahan ingin melayangkan tinju ke muka Tuan Gopernemen, namun dia masih menahan diri, memikirkan keselamatan para panyawah yang berada dalam ancaman moncong bedil.

Akhirnya dia bersama yang lainnya pulang dengan menahan geram yang makin menjadi. Bukannya mendapat penyelesaian, yang ada adalah masalah yang makin bertambah. Si Tuan  Gopernemen memberi waktu lima hari untuk penyerahan pranata pewayangan beserta gamelannya pada pemerintah kolonial. Jika tidak, hukuman yang tidak masuk akal telah menanti.

Keputusan harus segera diambil. Pilihannya cuma dua: menyerah atau melawan membela harga diri. Maka pada malam ketiga diadakan puncak sawala, bersitegang pendapat dari mereka yang ingin melawan langsung dengan mereka yang takut pada moncong bedil pemerintah kolonial. Tanpa dikatakan pun semua tahu betul, melawan berarti harus berani dengan perang terbuka.

‘’Pakarang memang sudah tidak ada. Tetapi sebenarnya kita bisa merakit sebuah meriam untuk menghadapi mereka. Yang kita butuhkan ya bahan logam...,’’ Ki Amungwaja angkat bicara. Dia adalah seorang ahli perang yang pernah belajar teknik pembuatan senjata ke Hindustan.

Semua terdiam. Menimbang dan  menghitung. Namun sorot mata keempat puun telah menyiratkan sebuah keputusan  pasti. Betapapun beratnya itu.

***
MALAM kian bergerak ke titik janari leutik. Angin semakin dingin dan menusuk sepi. Ini adalah malam kelima. Ia menghela napas. Tidak lama lagi bala tentara kolonial akan mendatangi wilayah ini, kampung halamannya sendiri.

Biarlah mereka datang. Akan kita sambut mereka dengan keberanian yang penuh. Lebih baik mati membela harga diri daripada hidup dalam tekanan penghinaan. Kajeun teuing gelut batan budaya urang direbut.

Sambil menghela napas panjang, ia membereskan waditra gamelan yang tinggal satu-dua buah saja, karena sebagian besar sudah dilebur untuk diolah dijadikan meriam, dicampurkan dengan benda-benda logam lain yang masih tersisa.

Dalam hening, selarik udara lembut tiba-tiba mengusap wajahnya. Entah dari mana. Lalu seperti semacam bisikan atau gaung lembut dari gong yang sudah tidak ada. Tiba-tiba menyeruak suatu keyakinan dalam dadanya yang bidang dan muda menggelora.

Lalu dengan langkah pelan ia menuju ke pojok ruangan, bersila dan mulai  memainkan kacapi indung. Satu per satu petikan jemari mewakili rasa.

Jentring ngawujud diri, jentrang ngarupa raga. Dengan pelan dia ngahariring, pupuh durma. Dalam kegelapan malam, sorot matanya hurung, lir ibarat mata
maung. (62)

Ciamis, Mei 2014-Yogyakarta,
September 2014

Catatan:
— Hurung: bersinar, menyala
— Janari leutik: dalam titi wanci Sunda waktu sekitar pukul tiga dini-hari.
— Kajeun teuing gelut batan budaya urang direbut: lebih baik berperang daripada budaya kita direb
— maung: harimau
— Panineunangan di lembur pan gancikan diri: mengenang di kampung tempat bersemayam diri.
— Pilemburan: perkampungan
— Puun: pemimpin masyarakat adat.
— teureuh: trah, turunan
— waditra: instrumen, alat musik


— Ridwan Munawwar Galuhwiraksa lahir di Kuningan, Jabar, dan Bergiat di komunitas Budaya Sakra
(dimuat di surat kabar "Suara Merdeka" pada 8 Maret 2015)

link: http://id.klipingsastra.com/2015/03/gamelan-wekasan.html


Batu Candi Pamungkas

Oleh: Ridwan Munawwar Galuhwiraksa

Malam kian pekat, kian bergerak ke titik lingsir. Tapi Ki Gondewo masih terjaga dalam lamunan panjang meski angin malam makin memebekukan. Rekannya sesama empu pemahat telah pulang ke rumahnya masing-masing, sebagiannya lagi beserta murid-muridnya ada yang tidur menginap di dalam saung joglo tempat pemahatan. Ki Gondewo tetap tidak bisa memejamkan mata, belum lagi beratnya fikiran yang seperti selalu menyuruhnya terjaga.



Ingatannya terantuk pada anak istrinya. Ki Gondewo mengucap syukur pada Sang Hyang, bahwa rekan-rekannya sesama empu masih bisa bertemu dengan anak-istrinya. Tidak seperti anak-istrinya sendiri yang sudah sekian lama berpisah dengannya; mengungsi dari kampung sendiri, mencari suaka untuk menitipkan nyawa. Bagaimana tidak, di Mataram ini terlalu banyak mala yang menimpa mereka. Ada kabar sampai padanya, bahwa kini anak-istrinya berada di Indraprahasta di bumi bagian barat sana, disuaka oleh Rajanya yang terkenal suka melindungi. Namun kabar lain mengatakan bahwa anak-istrinya sudah menyebrang nusa menuju Kerajaan Kandis Baru. Kabar burung memang selalu membingungkan. Ki Gondewo hanya bisa pasrah-sumerah pada Hyang Maha Kuasa.



Sambil terlarut dalam lamunan, tangannya asyik mengelus arca-arca batu yang baru setengah jadi. Ada rasa menggelora setiap kali telapak tangannya menempel pada arca-arca batu itu. Sebagian memang hasil pahatan muridnya, namun sebagian besar adalah hasil pahatan tangannya sendiri. Keahlian memahat ini sudah terwariskan dalam urat darahnya. Keahlian memahat yang menitis dari kakek dan bapaknya ini nyata telah memberinya posisi sosial yang dimuliakan oleh masyarakat. Dulu, leluhurnya adalah pemahat ahli di kerajaan, yang sangat dipercaya oleh Prabu Sanjaya sendiri.

Ki Gondewo menghela nafas panjang; dalam dan berat. Kira-kira dua ratus depa ke sebelah utara, candi agung Prambanan berdiri kokoh menantang malam. Sunyat dan agung. Sekalipun terselimuti gelap malam, masih terasa kemegahannya, apalagi bila di siang hari. Candi Prambanan ini tiada lain hasil buah fikir buyut-bao sepuhnya sendiri. Karena keahlian buyut baonya sebagai ahli candi, bukan saja sanjungan Prabu Sanjaya yang didapat, melainkan juga pamor dan citra yang besar dari masyarakat mancanegara. Para ahli arsitek dari Cina, India, Mongolia, sampaipun dari negeri atas angin, semuanya berdatangan ke tanah Mataram dengan berniat berguru.  Candi Prambanan menjadi buah bibir masyarakat dunia, keindahan dan keunikan cara membangunnya telah membuat semua orang terperangah. Dulu.



Ia menghela nafas kembali, merasakan hawa malam yang menusuk tulang. Desau hawa yang sepertinya membawa pesan akan robahnya zaman. Sejak tampuk kerajaan berpindah ke tangan dinasti Syailendra, tak pelak keadaan masyarakat Mataram pun mengalami banyak perubahan. Atau sebaliknya, perubahan pada masyarakat Mataram ini mengakibatkan perpindahan dinasti pada alur tampuk kerajaan. Nampaknya suatu hal yang tidak mengandung perbedaan berarti.



Yang pasti, keadaan memang berubah; kini telah tersebar agama baru yang disebarkan oleh para pendeta dari barat yang tertahbiskan sebagai pengamal ajaran Siddartha Gautama. Adapun Wangsa Syailendra dan kalangan panatanagara di dalamnya telah menganut agama baru ini, malahan Prabu Samaratungga, yang kini berkuasa, sudah menganut agama ini dari sejak ia belia.

Walaupun termasuk pengikut agama baru,  Raja Samaratungga termasuk raja yang bijaksana, ia tidak melarang agama luar masuk ke Mataram, tapi juga tidak memaksa rakyatnya untuk memeluk agama baru ini. Rakyat Mataram yang ingin setia menganut agama lama, ia persilahkan dengan diberinya tempat di tempat lama, yakni di bagian selatan negeri dengan purwacandi sebagai pusatnya, yakni Candi Prambanan. Adapun yang ingin dan telah menganut agama baru, telah diberi tempat di bagian utara negeri, pusatnya tidak lain adalah Candi Borobudur yang kini masih dalam proses pembangunan. Itulah keputusan yang bijaksana dari Raja.



Namun sebagaimana halnya sejarah di bagian-bagian yang lain, kenyataan akan berbicara sebaliknya; meskipun keputusan raja telah sedemikian adil, pada kenyataannya perang selalu terjadi antara mereka yang setia pada agama lama dengan mereka para penganut agama baru. Entah karena alasan apa. Nyawa loba nu kaala, jalmi loba nu nemahan pati.



Ki Gondewo masih ingat betul, belum berapa lama ini, di sebuah tegal yang tidak jauh dari kampung tempatnya bermukim, perang itu benar-benar terjadi. Dua golongan satu leluhur berperang, beradu pakarang, beradu golok dan pedang. Entah siapa yang berada di balik semua ini. Di depan candi-candi yang suci, darah manusia tumpah membasahi bumi. Jasad-jasad tertumbangan di mana-mana, tidak tertinggal jasad  paman, ayah, ibu dan sebagian besar anggota keluarganya Ki Gondewo.  



Ki Gondewo hanya bisa menghela nafas berat bila ingat kejadian itu. Pikiran dan hatinya berontak; perang bukanlah budaya, bahkan sangat jauh dari nilai-nilai agama yang manapun. Sebab bukankah agama sejatinya adalah jalan untuk manusia menemukan kebenaran, keadilan, dan kasatyagrahaan; bisa hidup damai dengan sesama manusia, dengan alam, dan dengan sesama mahluk Sang Hyang lainnya.

Melihat perang semakin berkobar, Ki Gondewo tidak tinggal, ia sendirian menghadap ke Prabu Samaratungga untuk menjelaskan keadaan yang terjadi, sebab oleh kalangan militer terlalu banyak hal yang diputar-balikkan. Sang Nalendra tidak menunda-nunda lagi, ia segera menurunkan pasukan pribadi kepercayaannya untuk mengamankan wilayah pemukiman masyarakat yang setia pada agama lama.

Kini semakin banyak yang memusuhi Ki Gondewo, terutama kalangan pangagung wadya balad kerahaan yang merasa terlangkahi oleh tindakan-tindakan Ki Gondewo. Akhirnya banyak fitnah bertebaran dan Ki Gondewo menjadi kebencian masyarakat, dan entah gimana awalnya bahkan ada isu yang menyebutkan bahwa Ki Gondewo-lah yang justru telah mengadu-bagongkan masyarakat.



Hanya sebagian kecil masyarakat yang masih percaya pada Ki Gondewo, terutama mereka yang tau siapa trah keluarganya, dan bagaimana sejarah trah keluarga Gondewo. Untungnya, Ki Gondewo pun bukan orang sembarangan, ia baik budi baik bahasa, suka menolong pada yang melolong, dan membantu pada yang sedang buntu. Silih asih dengan sesama manusia.



Ki Gondewo berkata dalam hati; aku membangun paguron tempat belajar mahat ini pun tidak meminta pada siapapun, semuanya kukerjakan dengan tangan dan hasil keringatku sendiri.

Dalam menghadapi orang-orang yang sirik-pidik pada dirinya, Ki Gondewo tidak sedikitpun gentar, yang menghina dibalas senyuman, yang melecehkan dibalas oleh sikap yang tegas. Untuk apa aku ragu pada diriku sendiri, terpengaruh oleh orang-orang bodoh yang buta pada hakekat. Tak akan aku tukar keyakinan diri apalagi oleh ucapan dari lidah-lidah hina,tak ada alasan aku biarkan keyakinanku runtuh oleh penghinaan mereka, toh aku tak berhutang budi apapun pada para pencela itu, berhutang satu suap nasi pun tak. Demikian pendiriannya.



Murid-muridnya yang belajar di ditu tidak hanya dari kalangan penganut agama lama, namun juga dari kalangan penganut agama baru. Itu bukan lantara ia tidak laku atau apa, namun sebaliknya, semua orang di penjuru nagari (sejauh ia tau dan mengerti) tau betul bahwa Ki Gondewo-lah ahli pahat paling kampiun di seluruh negeri. Jadi bukan tanpa alasan Ki Gondewo diminta menjadi panatawangun-utama (arsitek utama) Candi Borobudur, sebab seluruh empu di tanah Mataram ini tau betul bahwa hanya Ki Gondewo satu-satunya yang menjadi juru kunci pengetahuan rahasia rancang-wangun tradisi candi di Nusantara.



Akan tetapi Ki Gondewo menolak, ia lebih suka menjadi penasihat saja—dan kemudian posisi panatawangun-utama itu jatuh pada sahabatnya sendiri yang telah masuk agama baru—sebab walaupun para ahli bahkan Sang Nalendra sendiri sangat menghormati dirinya, Ki Gondewo tetap setia pada agama lama. Ini sudah menjadi pilihan hidupnya. Dalam hal membangun Candi Borobudur sebagai sakraloka-mandala mustika agama baru, Ki Gondewo tidak bisa memenuhi keinginan Sang Nalendra, sebab baginya ada satu halangan-harungan yang tidak bisa dilanggar. Dan hal inilah yang tidak bisa ia ungkapkan pada khalayak.



Helaan nafas Ki Gondewo semakin berat dan dalam. Hembusan nafasnya seakan keluar dari fikirannya sendiri yang terlelap dalam lamunan hari kemarin. Dadanya yang berat ia tambahkan berat dengan asap tembakau. Ia menatap satu-persatu muridnya yang telah tertidur. Lagi ia menatap batu arca wukir di halaman saung joglonya. Ada yang berkelebat di benaknya. Sebentar lagi Candi Borobudur akan rampung dibangun, dan ia tidak bisa tinggal diam. Harus ada yang dilakukan. Sebelum orang-orang sirik-pidik itu semakin menumpahkan hal yang jail-kaniaya pada dirinya, ia sadar harus segera bertindak.



Dengan hampir tidak mengeluarkan suara, Ki Gondewo pergi memacu kudanya, kencang bagai jamparing lepas dari gondewa. Tujuannya jelas; ia hendak ke Candi Borobudur. Waktu pagi hampir mencapai mangsa balebat, ia telah sampai di seratus depa menuju Candi Borobudur yang suci.

Semakin dekat dan semakin dekat, Ki Gondewo meloncat setengah terbang menuju Candi. Di bagian badan candi yang baru setengah jadi, ia pasangkan batu arca wukir hasil pahatannya sendiri. Sungguh cocok dan indah terlihat. Begitu selesai, Ki Gondewo meloncat kembali, seperti hendak nyangsang di awang-awang.  



Lamat-lamat dari balik halimun pagi, orang-orang berteriak, prajurit berlarian. Tombak-pedang terhunus hendak menusuk halimun memburu kabut.

Tak jauh dari situ, di sebalik rumpun bambu, seorang resi tersenyum dalam. Air mata menetes dari matanya yang teduh seperti hawa pagi yang menyelimuti candi.





Kawali-Kuningan, Maret-Mei 2014



(dimuat di koran Pikiran Rakyat, 8 Juni 2014)

Sabtu, 21 Maret 2015

Rajah Siliwangi

amit ampun nun paralun
ka Gusti nu Maha Suci
neda pangjiad pangraksa
para abdi-abdi seni

seja ngaguar laratan
titis waris nini aki

ngembatkeun jalan laratan
ka tampian geusan mandi
ka leuwi sipatahunan leuwi anu ngaruncang
diri-dirina nu sakiwari
rek muru lurung tujuh ngaliwat ka pajajaran
bongan hayang pulang anting

padungdengan padungdengan
jeung usikna pangancikan

pun…sapun….

sampurasun ka rumuhun
ka Hyang Prabu Siliwangi

nu murba di Pajajaran
pangauban seuweu-siwi
nu gelar di tatar SUNDA
muga nyebarkeun wawangi